Sejarah Alkimia
Alkimia mencakup beberapa tradisi filsafat yang tersebar selama empat
ribu tahun dan tiga benua, dan ketertarikan umum mereka pada bahasa yang penuh
sandi dan perlambangan menyulitkan kita melacak hal-hal yang memengaruhi dan
hubungan "genetisnya".
Kita dapat membedakan sedikitnya dua benang utama, yang tampaknya tidak
bercampur, setidaknya pada tahap-tahap awal: alkimia Tiongkok,
berpusat di Tiongkok
dan wilayah pengaruh budayanya; dan alkimia Barat, yang pusatnya
berpindah-pindah antara Mesir, Yunani dan Roma, dunia Islam, dan akhirnya kembali ke Eropa. Alkimia Tiongkok
berkaitan erat dengan Taoisme, sementara alkimia Barat mengembangkan
sistem filsafatnya sendiri, yang hanya sedikit berkaitan dengan agama-agama
besar Barat. Masih belum terjawab apakah kedua benang ini memiliki asal-usul
yang sama, atau sejauh apa mereka saling memengaruhi.
1.
Alkimia Dan Astrologi
Alkimia di dunia Barat dan tempat-tempat lain yang mempraktikkannya
secara luas berkaitan dan bertautan erat dengan astrologi
bergaya Yunani-Babilonia
tradisional; dalam berbagai hal, alkimia dan astrologi dibangun untuk saling
melengkapi dalam pencarian pengetahuan gaib. Secara tradisional, setiap tujuh planet dalam tata
surya yang dikenal orang zaman itu bertalian dengan, menguasai, dan mengatur logam tertentu.
Karena Isaac Newton merupakan ahli alkimia yang terkenal pada
masanya, sedangkan astrologi dan alkimia (sampai sekarang pun) begitu berkaitan
erat, mungkin sekali Newton memiliki pengetahuan yang baik tentang astrologi,
atau setidaknya pemahaman dasar mengenai metodologi astrologi yang berkaitan
dengan alkimia. Maka, secara logis, seseorang pastilah tahu banyak tentang
astrologi agar dapat menggunakan alkimia secara efektif, dan Newton serta para
ahli alkimia terkemuka lainnya tentu mengetahui hal ini.
2.
Alkimia
Tiongkok
Sementara alkimia Barat akhirnya berpusat
pada transmutasi logam biasa menjadi logam mulia, hubungan antara alkimia
Tiongkok dan obat-obatan lebih kentara. Batu
filosof milik alkimiawan Eropa dapat
diperbandingkan dengan Grand
Elixir of Immortality yang dicari-cari para
alkimiawan Tiongkok. Namun, dalam pandangan hermetis, kedua tujuan ini tidaklah
berdiri sendiri, dan batu filsafat sering disetarakan dengan panacea universal.
Dengan demikian, kedua tradisi ini mungkin memiliki lebih banyak kesamaan
daripada yang diperkirakan semula.
Alkimia merupakan nenek moyang dari ilmu
kimia, dan telah diterapkan pada sebagian besar belahan dunia jauh sebelum ilmu
kimia yang berdasarkan metode ilmiah berkembang. Aliran Taoisme yang menitik beratkan
pada alkimia ini juga disebut sebagai Taijing.
Aliran Taijing membagi Alkimia menjadi
dua, yakni Alkimia Eksternal dan Alkimia Internal. Alkimia Eksternal berarti
penggunaan rempah-rempah dan mineral-mineral tertentu untuk menjaga kesehatan,
memperpanjang usia, atau bahkan menjadikan orang yang meminumnya tidak dapat
mati. Rempah-rempah dan mineral-mineral itu kemudian diolah menjadi pil.
Alkimia Internal menunjukan bahwa segala
macam unsur untuk menjadikan seseorang sehat, panjang umur, atau bahkan hidup
abadi telah terdapat dalam tubuh manusia itu sendiri. Sehingga alkimia internal
lebih bertujuan untuk mengembangkan energi hidup di dalam tubuh tanpa
obat-obatan dari luar.
3.
Alkimia
India
Hanya sedikit yang diketahui di Barat
tentang ciri-ciri dan sejarah alkimia India.
Seorang alkimiawan Iran abad
ke-11 bernama al-Biruni
melaporkan bahwa mereka "memiliki ilmu yang mirip dengan alkimia yang
asing bagi mereka, ilmu yang disebut Rasavātam.
Nama ini berarti seni yang terbatas pada operasi, obat, senyawa, dan
obat-obatan tertentu, yang sebagian besar diambil dari tumbuhan. Prinsipnya
adalah mengembalikan kesembuhan bagi orang yang sakit parah, dan mengembalikan
kemudaan bagi usia tua." Contoh teks terbaik yang berdasarkan pada sains
ini adalah The Vaishashik Darshana karya Kanada
(fl. 600 SM),
yang menggambarkan teori atom seabad sebelum Democritus. Alkimia di Mesir Kuno
4.
Alkimia
Mesir Kuno
Alkimiawan Barat umumnya menelusur
asal-usul seni mereka ke Mesir
Kuno. Metalurgi
dan mistisisme
bertautan erat di dunia kuno, karena perubahan bijih kusam menjadi logam
berkilau pasti bagi mereka serupa sihir, yang dikuasai suatu aturan misterius.
Oleh karena itu, diperkirakan alkimia di Mesir Kuno dikuasai oleh kelas
pendeta.
Kota Iskandariyah
di Mesir adalah pusat pengetahuan alkimia, dan tetap diagungkan hingga setelah
keruntuhan budaya Mesir Kuno sekalipun, selama masa-masa Yunani dan Romawi.
Sayangnya, hampir tak ada dokumen Mesir asli tentang alkimia yang masih tersisa
sekarang. Andaikan ada, tulisan-tulisan itu kemungkinan besar hilang ketika Kaisar
Diocletian
memerintahkan pembakaran buku-buku alkimia setelah meredam pemberontakan di Iskandariyah
(296),
yang merupakan pusat alkimia Mesir. Alkimia Mesir sebagian besar dikenal
melalui tulisan para filosof kuno (Helenisme) Yunani,
yang sekarang hanya tersisa sebagai terjemahan Islam.
Menurut legenda, pendiri alkimia Mesir
adalah Dewa Thoth,
yang disebut Hermes-Thoth atau Thrice-Great Hermes (Hermes Trismegistus)
oleh bangsa Yunani. Konon ia menulis sesuatu yang disebut 42 Kitab Pengetahuan,
yang mencakup semua bidang pengetahuan — termasuk alkimia. Lambang Hermes
adalah caduceus
atau tongkat ular, yang menjadi salah satu dari banyak lambang utama alkimia.
"Tablet Emerald"
atau Hermetica
karya Thrice-Greatest Hermes, yang dikenal hanya melalui terjemahan Yunani dan Arab,
secara umum diakui telah membentuk dasar praktik dan filsafat alkimia Barat,
yang disebut filsafat
hermetis oleh para praktisi awalnya.
Inti pertama "Tablet Emerald"
menyampaikan tujuan ilmu hermetis: "sebenar-benarnya, seyakin-yakinnya,
dan tanpa keraguan, apa-apa yang di bawah itu sama dengan apa-apa yang di atas,
dan apa-apa yang di atas sama dengan apa-apa yang di bawah, untuk menciptakan
mukjizat satu hal" (Burckhardt,
h. 196-7). Ini adalah keyakinan makrokosmos-mikrokosmos
inti bagi filsafat hermetis.
Dengan kata lain, tubuh manusia (mikrokosm) dipengaruhi oleh dunia luar
(makrokosm), yang mencakup langit melalui astrologi,
dan bumi melalui unsur
(Burckhardt, h. 34-42).
Setelahnya, bangsa Masedonia yang
berbahasa Yunani menaklukkan Mesir dan mendirikan kota Iskandariyah pada 331.
Ini mempertemukan mereka dengan pemikiran Mesir.
5.
Alkimia
Yunani
Bangsa Yunani mengambil keyakinan
hermetis bangsa Mesir dan memadukannya dengan filsafat Pythagoreanisme,
ionianisme,
dan gnostisisme.
Pada intinya, Filsafat Pythagorean adalah keyakinan bahwa bilangan mengatur
alam semesta, keyakinan yang berasal dari pengamatan bunyi, bntang, bentuk
geometris seperti segitiga, atau apa pun yang perhitungannya dapat menghasilkan
angka rasio.
Pemikiran Ionia
didasarkan pada keyakinan bahwa alam semesta dapat dijelaskan melalui
mempelajari fenomena
alam; filsafat ini diyakini diciptakan oleh Thales
dan muridnya Anaximander,
dan kemudian dikembangkan oleh Plato
dan Aristoteles,
yang karya-karyanya menjadi bagian alkimia.
Menurut keyakinan ini, alam semesta
dapat digambarkan oleh beberapa hukum alam
yang dapat diketahui melalui penjelajahan filosofis yang hati-hati, saksama,
teliti. Komponen ketiga yang dimasukkan ke filsafat hermetis oleh bangsa Yunani
adalah gnotisisme,
keyakinan yang tersebar luas di Kekaisaran
Romawi Kristen, bahwa dunia itu tidak sempurna
karena diciptakan dengan cara yang tercacat, dan bahwa mempelajari sifat materi
spiritual akan menuntun kita ke keselamatan.
Mereka juga meyakini bahwa Tuhan
tidak "menciptakan" alam semesta dalam makna klasik, tetapi bahwa
alam semesta diciptakan "dari-Nya", tetapi kemudan rusak (bukan
dirusakkan oleh pelanggaran Adam dan Hawa, yakni dosa waris).
Menurut keyakinan Gnostisisme, memuja kosmos, alam, dan makhluk dunia, itulah
memuja Tuhan Sejati. Kaum Gnostik tidak mencari keselamatan dari dosa,
melainkan berupaya melepaskan diri dari ketidaktahuan, meyakini bahwa dosa
hanyalah konsekuensi dari ketidaktahuan. Teori Platonis dan neo-Platonis
tentang universal dan ke-Mahakuasa-an Tuhan juga diserap.
Sebuah konsep yang sangat penting yang
diperkenalkan pada masa ini, berasal dari Empedocles
dan dikembangkan Aristoteles,
adalah bahwa semua hal di alam semesta terbentuk dari hanya empat unsur: tanah,
udara, air, dan api. Menurut Aristoteles, setiap unsur
memiliki lingkup asalnya, tempatnya kembali jika tidak terganggu (Lindsay, h.
16) .
Keempat unsur bangsa Yunani lebih merupakan
aspek kualitatif materi, bukan kuantitatif sebagaimana unsur kimia modern.
"...Alkimia sejati tak pernah menganggap tanah, udara, air, dan api
sebagai zat fisik atau kimia sebagaimana makna katanya di masa kini. Keempat
unsur ini sederhananya adalah sifat-sifat primer dan umum. Melalui sifat-sifat
ini, zat nirbentuk dan kuantitatif dari semua benda mewujudkan dirinya dalam
bentuk-bentuk yang jelas" (Hitchcock, h. 66). Para alkimiawan selanjutnya
(jika Plato dan Aristoteles boleh disebut alkimiawan) mengembangkan aspek
mistis konsep ini secara luas.
6.
Alkimia
Kekaisaran Romawi
Bangsa Romawi
mengambil alkimia dan metafisika Yunani, sebagaimana mereka menyerap sebagian
besar pengetahuan dan filsafat Yunani. Pada akhir Kekaisaran
Romawi, filsafat alkimia Yunani telah
digabungkan dengan filsafat bangsa Mesir dan membentuk aliran Hermetisisme
(Lindsay).
Namun, perkembangan agama Kristen
di Kekaisaran tersebut membawa jalur pemikiran yang bertolak belakang, berakar
dari Agustinus
(354-430 M), seorang filsuf Kristen awal yang menuliskan keyakinannya menjelang
runtuhnya Kekaisaran Romawi. Pada intinya, ia merasa bahwa akal
dan iman
dapat digunakan untuk memahami Tuhan, tetapi filsafat
eksperimental itu buruk: "Dalam
jiwa juga terdapat, melalui indra badaniah ini, sejenis keinginan dan
keingintahuan hampa yang bertujuan bukan untuk menikmati tubuh, tetapi
memperoleh pengalaman melalui tubuh, dan keingintahuan hampa ini dihormati atas
nama pembelajaran dan ilmu pengetahuan" (Agustinus, h. 245).
Gagasan Augustinian jelas-jelas
menentang eksperimen, tetapi ketika teknik eksperimental Aristotelian tersedia
bagi dunia Barat, teknik tersebut tidak ditolak. Namun, pemikiran Augustinian
sudah mendarah daging dalam masyarakat Zaman Pertengahan dan digunakan untuk
menuding alkimia sebagai ilmu yang tidak ilahiah. Pada akhirnya, pada akhir era
pertengahan, arus pemikiran ini menciptakan celah permanen, yang memisahkan
alkimia dari agama yang justru dahulu mendorong kelahirannya.
Sebagian besar pengetahuan Romawi
tentang alkimia, sebagaimana pengetahuan Yunani dan Mesir, sekarang hilang. Di
Alexandria, pusat pengkajian alkimia di Kekaisaran Roma, seni tersebut
disampaikan dari mulut ke mulut dan untuk mempertahankan kerahasiaan, hanya
sedikit yang dituliskan. (Sejak itu kata "hermetis" berarti
"rahasia") (Lindsay, h. 155). Mungkin saja ada sebagian yang ditulis
di Alexandria, dan kemudian hilang atau terbakar di masa-masa kericuhan setelah
itu.
7.
Alkimia
Islam
Setelah runtuhnya Kekaisaran Romawi,
fokus perkembangan alkimia berpindah ke Timur Tengah. Yang diketahui tentang
alkimia Islam
jauh lebih banyak karena dokumentasinya lebih baik: malah, sebagian besar
tulisan yang diturunkan selama bertahun-tahun diabadikan dalam bentuk
terjemahan Islam (Burckhardt, h. 46).
Dunia Islam merupakan tempat peleburan
bagi alkmia. Pemikiran Platonis
dan Aristotelian,
yang sudah sedikit-banyak disisihkan menjadi ilmu hermetis, terus diasimilasi.
Alkimiawan Islam seperti Abu
Bakar Muhammad bin Zakariya al-Razi
(Rasis atau Rhazes dalam Bahasa
Latin) juga menyumbangkan temuan-temuan
kimiawi penting, seperti teknik penyulingan
(kata alembic dan alkohol
juga berasal dari Bahasa
Arab), asam
klorida, asam
sulfat, dan asam
nitrat, al-natrun, dan alkali
yang kemudian membentuk nama untuk unsur natrium
dan kalium
dan banyak lagi. Penemuan bahwa air raja atau aqua
regia, campuran asam nitrat
dengan asam klorida, dapat melarutkan logam termulia emas, adalah
penemuan yang mengompori imajinasi para alkimiawan selama seribu tahun
berikutnya.
Para filosuf Islam juga memberikan
sumbangan besar untuk hermetisisme alkimia. Penulis yang paling berpengaruh
dalam hal ini adalah Jabir bin Hayyan
(جابر إبن حيان dalam Bahasa Arab, Geberus dalam Bahasa Latin; Geber dalam
Bahasa Inggris). Tujuan utama Jabir adalah takwin,
penciptaan buatan makhluk hidup dalam laboratorium alkimia, hingga dan termasuk
manusia. Ia menganalisis setiap unsur Aristotelian, panas, dingin,
kering, dan lembap (Burkhardt, h. 29).
Menurut Jabir, dalam setiap logam, dua
sifat ini berada di dalam dan dua berada di luar. Misalnya, timah itu dingin
dan kering di luar, sedangkan emas itu panas dan lembab. Maka, Jabir berteori,
dengan mengatur ulang sifat-sifat sebuah logam, bisa dihasilkan logam lain (Burckhardt,
h. 29). Dengan penalaran ini, pencarian batu
filosof diperkenalkan dalam alkimia Barat.
Jabir mengembangkan numerologi
yang rumit, yakni huruf-akar dari nama sebuah zat dalam Bahasa
Arab, jika ditransformasi, akan berkaitan dengan
sifat fisika unsur tersebut.
Sekarang sudah umum diterima bahwa
alkimia Tiongkok memengaruhi alkimiawan Arab (Edwardes hh. 33-59; Burckhardt,
h. 10-22), meskipun sejauh apa pengaruh itu masih diperdebatkan. Demikian pula,
ilmu Hindu
diasimilasi ke dalam alkimia Islam, tetapi, sekali lagi, besarnya dan
pengaruhnya tidak banyak diketahui.
8.
Alkimia di Zaman Modern dan Renaisans
Alkimia Eropa
terus berlanjut seperti ini hingga terbitnya Zaman Renaisans. Era ini juga
menyaksikan menjamurnya penipu yang menggunakan tipuan kimiawi dan sulap untuk
"mendemonstrasikan" transmutasi logam biasa menjadi emas, atau yang
mengaku memiliki pengetahuan rahasia yang — dengan modal awal
"sedikit" — pasti akan mencapai tujuan tersebut.
Nama terpenting
pada masa ini adalah Philippus Aureolus Paracelsus (Theophrastus
Bombastus von Hohenheim, 1493–1541) yang mencetak
alkimia menjadi bentuk baru, menolak sebagian okultisme yang telah bertimbun
selama bertahun-tahun, mempromosikan penggunaan pengamatan dan eksperimen untuk
mempelajari tubuh manusia. Ia menolak tradisi Gnotisisme, tetapi mempertahankan
sebagian besar filsafat Hermetis, neo-Platonis, dan Pythagorean; namun, ilmu
Hermetis memuat begitu banyak teori Aristotelian sehingga penolakannya terhadap
Gnotisisme hampir tak ada artinya. Khususnya, Paracelsus menolak teori-teori
sihir Agrippa dan Flamel. Ia tak menganggap dirinya seorang penyihir, dan
mengecam orang-orang yang mengaku demikian (Williams hh. 239-45).
Paracelsus
merintis penggunaan zat kimia dan mineral dalam bidang kedokteran, dan menulis
"Banyak orang berkata bahwa alkimia bertujuan membuat emas dan perak.
Bagiku, tujuan alkimia bukan itu, melainkan untuk mempelajari kebaikan dan
kekuatan yang terkandung dalam obat" (Edwardes, h. 47). Pandangan
hermetisnya adalah bahwa penyakit dan kesehatan dalam tubuh bergantung pada
keselarasan antara manusia si mikrokosm dan Alam si makrokosm. Ia memakai
pendekatan yang berbeda dengan para pendahulunya, yakni menggunakan analogi ini
bukan dalam rangka pemurnian-jiwa, tetapi dengan maksud bahwa manusia harus
memiliki keseimbangan mineral tertentu dalam tubuhnya, dan bahwa
penyakit-penyakit tubuh tertentu dapat disembuhkan dengan obat tertentu (Debus
& Multhauf, p.6-12). Meskipun upayanya mengobati penyakit dengan obat
seperti air raksa mungkin tampak keliru dari sudut pandang modern, gagasan
dasarnya tentang obat kimiawi ternyata bertahan diuji waktu.
Di Inggris, topik alkimia
dalam masa ini sering dikaitkan dengan Dokter John Dee (13 Juli 1527 – Desember 1608), yang lebih
dikenal sebagai astrolog, kriptografer,
dan "konsultan ilmiah" umum bagi Ratu Elizabeth I. Dee dipandang
sebagai ahli karya-karya Roger Bacon, dan cukup
tertarik pada alkimia sehingga menulis buku tentang topik ini (Monas
Hieroglyphica, 1564) dengan
pengaruh Kabala. Teman Dee, Edward Kelley — yang
mengklaim bercakap-cakap dengan malaikat melalui bola
kristal dan memiliki bubuk yang dapat mengubah air raksa menjadi emas — mungkin
merupakan asal-usul citra charlatan-alkimiawan yang banyak dikenal.
Di antara
alkimiawan-alkimiawan lain pada masa ini, yang patut dicatat adalah Michał Sędziwój (Michael
Sendivogius) (1566 - 1636), seorang
alkimiawan berkebangsaan Polandia, filosof dan dokter, perintis
ilmu kimia. Ia mengasumsikan bahwa udara mengandung oksigen, 170 tahun
sebelum Scheele dan Priestley, dengan
menghangatkan nitre (saltpetre). Dia
menganggap gas yang dihasilkannya sebagai "minuman kehidupan".
9.
Keruntuhan Alkimia Barat
Berakhirnya alkimia Barat disebabkan
oleh bangkitnya sains modern, yang menekankan eksperimentasi yang
setepat-tepatnya dan menganggap remeh "kebijaksanaan kuno". Meskipun
benih peristiwa-peristiwa ini ditanam seawal abad
ke-17, alkimia masih berjalan dengan baik
selama dua ratusan tahun, dalam fakta ia mungkin telah mencapai titik terjauh
(apogee)-nya pada abad
18. Akhir 1781 James Price
menyatakan telah menghasilkan bubuk yang bisa men-transmutasi air raksa menjadi
perak atau emas.
Robert
Boyle (1627–1691),
lebih dikenal dengan studinya tentang gas (cf. hukum
Boyle) merintis metode ilmiah dalam
penyelidikan kimiawi. Ia tidak memiliki asumsi apa-apa dalam eksperimennya dan
ia menghimpun tiap data yang relevan; dalam sebuah eksperimen, Boyle akan
mencatat tempat di mana eksperimen berlangsung, karakteristik angin, posisi
matahari dan bulan, dan angka barometer, siapa tahu hal-hal tersebut terbukti
relevan. (Pilkington h.11) Pendekatan ini suatu saat membawa pada pembentukan
ilmu kimia modern pada abad
18 dan abad
19, Berdasarkan penemuan revolusioner dari
Lavoisier
dan John Dalton-yang
pada akhirnya menyediakan kerangka kerja yang logis, kuantitatif dan dapat
diandalkan untuk memahami transmutasi materi, serta mengungkapkan kegagalan
tujuan alkimia yang telah berlangsung lama seperti misalnya batu fisuf.
Sementara itu, alkimia Paracelsian
menuntun pada pengembangan ilmu obat-obatan modern. Para eksperimentalis secara
berangsur-angsur menemukan cara kerja tubuh manusia, seperti peredaran darah (Harvey,
1616),
dan pada suatu saat mengetahui bahwa banyak penyakit disebabkan oleh infeksi
kuman (Koch
and Pasteur,
abad 19)
atau kekurangan vitamin dan zat gizi alami (Lind,
Eijkman,
Funk,
et al.). Didukung oleh perkembangan paralel dalam ilmu kimia organik, ilmu
pengetahuan baru itu dengan mudahnya menggeser alkimia dari perannya di bidang
medis, interpretif dan preskriptif, sekaligus mengurangi harapan terhadap
obat/ramuan ajaib dan membeberkan ketidakefektifan dan bahkan kadar racun yang
dimiliki obat semacam itu.
Maka, ketika ilmu pengetahuan dengan
mantap berlanjut menguak tabir dan merasionalkan mesin waktu alam semesta, yeng
dibangun pada metafisika materialistik-nya sendiri, Alkimia dicabut dari hubungannya
dengan kimia dan medis-tapi masih terbebani olehnya. Alkimia berkurang menjadi
sebuah sistem filsafat yang dianggap sulit dimengerti, lemah hubungannya dengan
dunia material, ia mengalami nasib yang serupa dengan disiplin ilmu esoteris
lainnya seperti Astrologi
dan Kabbalah:
dikeluarkan dari kurikulum, dihindari oleh para pendukung sebelumnya,
diasingkan oleh para ilmuwan, dan pada umumnya dipandang sebagai lambang charlatanism
dan takhayul.
Perkembangan ini bisa ditafsirkan
sebagai bagian dari reaksi yang lebih luas di dalam intelektualisme Eropa
melawan gerakan Romantik
dari abad sebelumnya. Mungkin akan bijaksana untuk meneliti bagaimana sebuah
disiplin ilmu yang pernah mendapat martabat intelektual dan material, lebih
dari dua ribu tahun, dapat dengan mudahnya lenyap dari alam pemikiran Barat.
10.
Alkimia
Dalam Sastra
Banyak pengarang mengecam alkimiawan dan
menggunakannya sebagai bahan olok-olokan. Yang terkenal adalah naskah sandiwara
The Alchemist
oleh Ben Johnson.
Dalam buku anak Harry
Potter, "Batu Filosof"
disebut-sebut. Batu ini diciptakan oleh para alkimiawan dalam dunia ciptaan J.K.
Rowling. batu ini bisa mengubah logam
apapun menjadi emas murni, dan menciptakan "Minuman Kehidupan" yang
membuat peminumnya hidup selamanya.
Di bagian kedua dari Faust,
Johann Wolfgang von Goethe
menggambarkan pelayan Faust, Wagner menggunakan ilmu alkimia untuk menciptakan homunculus.
Istilah alkimia kadang-kadang digunakan
mengacu pada studi yang terhambat dalam rangka menjadi ilmu pengetahuan tetapi
belum mencapai tahapan itu. Misalnya, Larry Niven
dalam kisahnya Known Space
menggambarkan psikologi
abad duapuluh sebagai 'pada tahapan alkimia', sebelum disempurnakan oleh
generasi selanjutnya menjadi benar-benar sebuah ilmu pengetahuan.
11.
Alkimia
Eropa Zaman Pertengahan
Karena
kuatnya hubungan dengan kebudayaan Yunani dan Romawi , alkimia diterima dengan
mudah oleh filsafat Kristen, dan para alkimiawan Eropa zaman pertengahan
memperluas penyerapannya terhadap pengetahuan alkimia Islam. Gerbert
of Aurillac,
yang kemudian menjadi Paus Silvester II, (meninggal 1003) adalah salah
seorang di antara yang pertama membawa ilmu pengetahuan Islam ke Eropa dari Spanyol. Tokoh sesudahnya seperti Adelard
of Bath,
yang hidup pada abad
12,
membawa pengetahuan tambahan. Tetapi sampai dengan abad
13
gerakan-gerakan tersebut terutama bersifat asimilatif. (Hollister h. 124, 294)
Pada
periode ini muncul beberapa penyimpangan terhadap prinsip Augustinian dari para pemikir Kristen awal. Saint
Anselm
(1033–1109) adalah seorang Benedictine
(pengikut St. Benedict) yang mempercayai bahwa keyakinan/iman harus mendahului
rasionalisme, sebagaimana Augustine serta kebanyakan teolog sebelum Anselm
mempercayai, akan tetapi Anselm lebih berpendapat bahwa iman dan rasionalisme
bersifat sesuai dan ia menyemangati rasionalisme di dalam konteks Kristen.
Pandangan-pandangannya menyiapkan tempat terjadinya ledakan filsafat.
Saint
Abelard
seorang penganut karya Anselm, meletakkan dasar diterimanya pemikiran
Aristotelian sebelum karya-karya pertama Aristoteles menjangkau dunia Barat.
Pengaruh besarnya pada alkimia adalah keyakinannya bahwa alam semesta Platonis
tidak memiliki eksistensi terpisah di luar kesadaran manusia. Abelard juga
men-sistematika-kan analisis kontradiksi-kontradiksi filsafat. (Hollister, p.
287-8)
Robert
Grosseteste
(1170–1253) adalah perintis teori ilmiah yang
kemudian digunakan dan dipoles oleh para ahli kimia. Ia mengambil metode
analisis Abelard dan menambahkan penggunaan pengamatan, eksperimentasi, dan
penyimpulan dalam membuat evaluasi ilmiah. Grosseteste juga banyak menjembatani
pemikiran Platonis dan Aristotelian. (Hollister hh. 294-5)
Albertus Magnus (1193–1280) dan Thomas Aquinas (1225–1274) keduanya adalah pengikut Dominican yang mempelajari Aristoteles dan
berusaha mendamaikan kesenjangan antara filsafat dengan agama Kristen. Aquinas
banyak menyumbangkan karya dalam pengembangan metode ilmiah. Lebih jauh lagi, ia menyatakan
bahwa alam semesta bisa diketahui dengan hanya melalui pemikiran
logis:
ini bertentangan dengan keyakinan Platonis yang umumnya dipegang bahwa alam
semesta hanya bisa diketahui semata-mata melalui ilham ketuhanan.
Magnus
dan Aquinas adalah di antara yang pertama-tama menguji teori alkimiawi, dan
mereka bisa juga dianggap sebagai alkimiawan, dengan perkecualian bahwa mereka
hanya melakukan sedikit eksperimentasi. Salah satu sumbangan Aquinas yang
utama adalah keyakinan bahwa karena akal pikiran tidak akan tidak sejalan
dengan kehendak Tuhan, maka akal pikiran pasti sesuai dengan teologi. (Hollister h. 290-4, 355)
Seorang
alkimiawan sejati pertama di Eropa Zaman Pertengahan adalah Roger Bacon. Karyanya untuk alkimia adalah
sebanyak yang dihasilkan Robert Boyle untuk ilmu kimia dan Galileo Galilei untuk astronomi dan fisika. Bacon (1214–1294) adalah Fransiskan Oxford yang menjelajahi bidang ilmu
optik dan bahasa selain alkimia.
Ide
pengikut Fransiskan untuk ambil bagian di dunia bukannya menolak dunia
membawanya pada keyakinan bahwa eksperimentasi lebih penting daripada
pemikiran: " Di antara tiga cara di mana manusia merasa memperoleh
pengetahuan: otoritas (karena itu adalah haknya), pemikiran, pengalaman; maka
hanya yang terakhirlah yang efektif dan mampu mendamaikan akal budi."
(Bacon p. 367) "Ilmu Pengetahuan Eksperimental menguasai kesimpulan semua bidang ilmu
pengetahuan. Ia mengungkapkan kebenaran-kebenaran di mana pembuktian dari prinsip/hukum-hukum umum tidak diketemukan
sebelumnya.
"(Hollister
h. 294-5) Roger Bacon juga dikenal sebagai yang memulai pencarian batu filsuf serta obat mujarab untuk kehidupan
(the elixir of life): "Obat itu akan menghilangkan semua kekotoran dan
sifat-sifat buruk dari beberapa jenis logam, dalam pendapat bijaksananya,
melenyapkan banyak sifat-sifat buruk yeng mungkin telah berada di tubuh manusia
selama berabad-abad."
Ide
tentang keabadian diganti dengan gagasan tentang umur
panjang;
setelah itu semua, kehidupan manusia di Bumi hanya sekedar menunggu dan
menyiapkan diri untuk keabadian di dunia Tuhan. Ide tentang keabadian di Bumi
tidak berbenturan dengan teologi Kristen.(Edwardes h. 37-8)
Bacon
bukan hanya dikenal sebagai seorang alkimiawan di puncak zaman pertengahan,
melainkan juga yang paling signifikan. Karya-karyanya dipakai oleh para alkimiawan
yang tak terhitung jumlahnya dari abad limabelas sampai sembilanbelas.
Alkimiawan lain di masa Bacon memiliki beberapa ciri yang sama. Pertama, dan
yang paling jelas, yaitu hampir semuanya adalah anggota kependetaan (clergy).
Mudahnya,
ini disebabkan karena sedikit orang di luar sekolah parokial mendapatkan
pelajaran yang meneliti karya-karya turunan dari karya Arab. Juga, alkimia pada
masa ini disetujui oleh gereja sebagai metode yang baik untuk mengeksplorasi
dan mengembangkan teologi. Alkimia juga menarik bagi orang-orang gereja karena
ia menawarkan pandangan rasionalistik tentang alam semesta di mana saat itu
manusia baru mulai belajar tentang rasionalisme.(Edwardes h. 24-7)
Maka
pada akhir abad tigabelas, alkimia berkembang menjadi sebuah sistem keyakinan
yang hampir terstruktur. Para ahli percaya pada teori makrokosmos-mikrokosmos
dari Hermes, itu berarti, mereka mempercayai bahwa proses yang berpengaruh pada
mineral dan zat-zat lain juga akan berpengaruh pada tubuh manusia (misalnya,
jika seseorang bisa mempelajari rahasia pemurnian emas, maka ia bisa menerapkan
tekniknya untuk memurnikan jiwa manusia. Mereka percaya pada empat
unsur dan empat kualitas yang telah diuraikan di atas, dan mereka memiliki
tradisi kuat untuk membungkus ide-ide tulisan mereka ke dalam ruangan labirin jargon yang bersandi, penuh dengan jebakan
yang membingungkan.
Alkimiawan
mempraktekkan seni mereka: mereka bereksperimen secara aktif dengan bahan
kimiawi serta membuat observasi dan teori tentang bagaimana cara alam semesta
bekerja. Keseluruhan filsafat mereka berkisar antara keyakinan mereka bahwa
jiwa manusia terpisah di dalam diri manusia sejak jatuhnya Adam. Dengan
memurnikan dua sisi jiwa itu, manusia bisa kembali menyatu dengan Tuhan. (Burckhardt
h. 149)
Pada
abad empatbelas, pandangan-pandangan ini mengalami perubahan penting. William
of Ockham,
seorang Fransiskan Oxford yang meninggal pada 1349, menyerang pandangan kaum Thomist tentang kesesuaian antara iman dan
pemikiran. Pandangannya, diterima secara luas sekarang, bahwa Tuhan hanya
semata-mata diterima lewat iman; Ia tidak bisa dibatasi oleh pemikiran manusia.
Tentu saja pandangan ini tidak salah apabila seseorang menerima dalil tentang
ketakterbatasan Tuhan versus keterbatasan kemampuan pemikiran manusia, tapi ini
secara tidak langsung menghapus praktik alkimia di abad empatbelas dan
limabelas.
0 komentar:
Posting Komentar